Friday 29 January 2010

Dia dan Cinta


Dia menatap di kejauhan, menyayangkan hidupnya. Mengapa tiada yang mencintaiku? Ujarnya didalam hati. Mengapa selalu aku yang menjadi pilihan kedua? Tidakkah aku pantas untuk dicintai? Dijadikan prioritas? Dijadikan yang terindah? Dijadikan yang tercinta.

Dia bersandar, hening menyelimutinya. Mulutnya terdiam, bibirnya terkatup rapat. Hening masih menyelimutinya. Dia menggeliat sesekali, menunjukkan betapa membosankan hidupnya. Dia memicingkan mata, meski memang tiada cahaya. Dia mencoba berkonsentrasi. Terdengar sebuah suara, nyanyian sebuah lagu. Lagu yang indah....menyayat hati, tetapi indah.

Dia mendengarkannya dengan seksama, sepenuh hati. Ingin memahami kata-kata dari lagu itu. Kata-kata sendu yang menyapu perasaannya dan membuatnya ingin meringkuk diam. Satu persatu air mata jatuh dari matanya. Dia bertanya-tanya, siapakah gerangan penyanyinya?.
Dia :” Halo? Siapa disana?”
Hening. Lagu tadi berhenti. Tiada nyanyian lagi.
Dia : “Halo? Mengapa kau tak menjawab?”
Hening. Hanya suara nafas terengah yang terdengar. Itu nafasku, ujar Dia. Hening. Tiada apapun yang bersuara. Kecuali degup jantung Dia, suara nafas Dia.

Dia duduk di kegelapan, tiada yang bisa melihat apa yang sedang Dia lakukan.
Namun Dia termenung, seperti menunggu sesuatu. Hingga kembali terdengar sebuah suara.
Dia : " Halo? Ada orang disana?"
Sebuah suara : “ Hai ”
Dia : “Siapa kau?”
Sebuah suara : " Ini aku!"
Dia : “ Siapa kau?”
Sebuah suara : “ Tidakkah kau mengenaliku?”
Dia : “Tidak. Apakah kau yang tadi bernyanyi?”

Hening.

Dia : “Halo? Kau disana?”
Sebuah suara : “ Iya, aku disini. Kau mendengar laguku?”
Dia : “Tentu. Suaramu indah”.
Sebuah suara : “Terima kasih”.
Dia : “Lagunya juga indah, tapi mengapa begitu sedih?”
Sebuah suara : “Aku rasa, kau yang membuatnya terdengar sedih. Sebenarnya itu adalah lagu bahagia”
Dia : “Apa judul lagu itu?”
Sebuah suara : “Aku tidak tahu judulnya”.
Dia : “Bukan kau yang membuatnya?”
Sebuah suara : “Bukan. Aku hanya menyanyikannya, aku suka bernyanyi. Apa kau suka bernyanyi?”
Dia : “Suaraku tidak bagus”
Sebuah suara : “Aku tidak menanyakan hal itu. Apakah kau suka menyanyi?”
Dia : “Entahlah. Aku rasa begitu.”
Sebuah suara : “Kau tidak yakin?”
Dia : “Entahlah. Sepertinya aku tidak suka menyanyi”
Sebuah suara : “Oh. Sayang sekali”.

Hening. Desah nafas keduanya terdengar.

Dia : “Siapa namamu?”
Sebuah suara : “Namaku Cinta”
Dia :”Cinta? Nama yang indah.”
Cinta : “Siapa namamu?”
Dia : “Orangtua dan teman2ku memanggilku Dia”
Cinta : “Mereka memanggilmu Dia? Apakah itu memang namamu?”
Dia : “Tentu saja! Kenapa?”
Cinta : “Tidak apa-apa. Namamu juga indah”
Dia : “Tidak. Namaku tidak indah”
Cinta : “Mengapa kau berkata demikian?”
Dia : “Tidak apa-apa. Aku tidak menyukainya. Dan aku tidak ingin membahasnya!”
Cinta :” Baiklah. Apa yang ingin kau bahas?”
Dia : “Kamu.”
Cinta :”Aku?”
Dia : “ Ya, kamu. Aku ingin membahas tentang dirimu”
Cinta : “Aku juga ingin mengetahui tentang dirimu”
Cinta : “Baiklah. Mari bahas tentang diriku. Apa yang ingin kau ketahui?”
Dia : “Mengapa kau disini? Kau tak seharusnya berada disini!”
Cinta : “Mengapa tidak?”
Dia : “Aku tidak suka ditemani. Aku suka sendiri”
Cinta : “Mengapa kau suka sendiri?”
Dia : “AKu tak tahu, aku terbiasa sendiri”.
Cinta : “Aku disini bukan untuk menemanimu, aku disini karena aku harus disini.”
Dia : “Kalau begitu siapa yang menyuruhmu?”
Cinta : “Tidak ada. Aku selalu disini”
Dia : “Kau tidak bisa pergi?”
Cinta : “Bisa. Aku bisa datang dan pergi, kau bisa mengusirku atau memintaku untuk menemanimu. Tapi bila kau tanya siapa yang menyuruhku, aku tidak bisa menjawabmu”
Dia : “Kenapa bisa begitu?”
Cinta : “Sudah kubilang aku tidak tahu”


Hening. Tiada suara.


Dia : “Cinta?”
Cinta : “Ya?”
Dia : “Disini gelap ya? Kelam. Hitam”
Cinta : “Ya. Tapi aku menyukai hitam, aku suka semua warna. Semuanya indah. Apa warna kesukaanmu?”
Dia : “Entahlah. Aku tidak permah memikirkannya”
Cinta : “Sebaiknya kau mulai memikirkannya”
Dia : “Kenapa?”
Cinta : “Karena warna akan memberi sesuatu yang indah pada hidupmu”.


Hening.


Cinta : “Mengapa kau diam?”
Dia : “Aku terbiasa dengan hening. Membuatku tenang”
Cinta : “Apa kau keberatan bila aku membuat suara-suara?”
Dia : “Tentu saja. Aku tidak suka suara-suara.”
Cinta : “Tapi kau menyukai nyanyianku”
Dia : “Itu tidak termasuk”
Cinta : “Mengapa tidak?”
Dia : “Entahlah, menurut aku nyanyianmu tidak termasuk”


Kembali hening.


Cinta : “Apakah kau menyukai hujan?”
Dia : “Tidak”
Cinta : “Bagaimana dengan menari? Apa kau suka menari?”
Dia : “Tidak. Aku tidak bisa menari”
Cinta : “Aku tidak menanyakan apa kau bisa menari atau tidak, apakah kau suka menari?”
Dia : “Entahlah. AKu tidak pernah tahu”
Cinta : “Apa hobi mu?”
Dia : “Entahlah. Aku tidak punya waktu untuk itu”
Cinta : “Bagaimana dengan tertawa? Pasti kau suka tertawa?”
Dia : “Apa yang begitu lucu sehingga aku harus tertawa?”
Cinta : “Kehidupan sangat lucu. Pernahkah kau mencoba tertawakan kehidupan?”
Dia : “Kehidupanku tidak seperti kehidupanmu. Kehidupanku keras”
Cinta : “Oh ya? Kehidupanku juga keras. Kadang aku dibuat menangis. Kadang aku tertawa terbahak-bahak. Namun aku menikmati kehidupanku.”
Dia : “Aku tidak menemukan alasan untuk tertawa”
Cinta : “Bahkan satu pun?”
Dia : “Tidak satu pun.”
Cinta : “Tapi mengapa kau menemukan banyak alasan untuk tidak tertawa?”


Hening.


Cinta : “Haruskah aku pergi?”


Hening.


Cinta : “Baiklah bila kau memang tidak menginginkan ku”


Hening.


Dia : “Cinta? Dimana kamu?”
Cinta : “ Disini, tidak jauh darimu “
Dia : “Dimana? Aku tidak bisa melihatmu.”
Cinta : “ Memang, tapi aku sedang melambai-lambaikan tanganku”
Dia : “ Dimana? Aku tidak melihatmu. Disini gelap sekali”
Cinta : “ Kalau memang gelap, berjalanlah kearah terang”

Dia berjalan pelan. Meraba-raba diantara kegelapan. Menuju sebuah sinar yang terang benderang. Lalu ia berhenti dibawah sebuah sinar.

Dia : “ Cinta? Apakah kau masih disini?”
Cinta : “Aku ada disini”
Dia : “Ada yang lupa kutanyakan padamu.”
Cinta : “Apa itu?”
Dia : “Sejak kapan kau berada disini? Sejak kapan kau menemaniku?”
Cinta : “Aku tidak tahu, aku selalu berada menemanimu. Entah sejak kapan. Hanya saja kau tidak menyadarinya”
Dia : “Kamu dimana sih?”
Cinta : “Disini. Aku didekatmu. Mengapa kau tidak menyadarinya?”
Dia : “Dimana? Aku tidak melihatmu”
Cinta : “Kau tidak menyimak ya?”
Dia : “Apa maksudmu?”
Cinta : “Aku bilang aku didekatmu, tapi kau tidak menyadarinya. Bukan berarti kau bisa melihatku”
Dia : “Apa maksudmu?”
Cinta : “Rasakan kehadiranku. Apa yang kau rasakan setelah aku menemanimu? Bisakah kau rasakan itu?”.
Dia : “Kamu sangat berisik”
Cinta : Apakah itu hal yang buruk?”
Dia : “Tidak”
Dia : “Aku membenci perasaan ini”
CInta : “Perasaan apa?”
Dia : “Perasaan bahwa aku menyukai kehadiranmu”
Cinta : “Lalu?”
Dia : “Kau boleh tetap disini”
Cinta : “Aku memang disini”
Dia : “Maksudku, kau jangan pergi.”
Cinta : “Mengapa?”
Dia : “Karena kau sangat berisik”
Cinta : “Bukankah kau tidak menyukai suara-suara?”
Dia : “Ya, tapi sebaiknya kau jangan pergi!”
Cinta : “Mengapa?”


Hening.


Dia : “Karena aku tidak ingin sendiri”
Cinta : “Bukankah kau terbiasa sendiri?”
Dia : “Memang, tapi aku berubah pikiran. Aku tidak ingin sendiri”
Cinta : “Apakah sulit untuk mengakuinya? Mengakui bahwa kau tidak ingin sendiri”
Dia : “Ya”
Dia : “Temani aku, Cinta”
Cinta : “Aku selalu disini, aku tidak pernah meninggalkanmu”.

No comments: